saranginews.com, Jakarta – Di era Revolusi Industri 4.0 dimana mesin-mesin yang diciptakan pada awal Revolusi Industri saling terintegrasi atau terhubung dengan Internet, saat itulah kita memasuki situasi yang penuh kekacauan.
Ini adalah era dimana perkembangan sebelumnya terhapus oleh kemajuan teknologi baru.
Baca juga: Perangi Misinformasi di Internet, Mahasiswa Diminta Perbanyak Konten Positif
Misalnya saja kecerdasan buatan dan robot yang mulai menggantikan peran manusia. Disrupsi juga terjadi pada sektor perekonomian dan pendidikan.
“Saat ini semua orang sudah melek teknologi di berbagai tingkatan. Saat ini kita mempunyai informasi yang melimpah, sehingga hampir semua informasi dapat kita akses melalui internet,” ujar Taufiq R. Abdullah, Anggota Komisi I DPR RI “Mewujudkan Pemilu Damai”. Dikatakan dalam webinar bertajuk. Ini Terjadi: Hentikan Insentif dan Penipuan di Jejaring Sosial”.
Baca juga: Kenali rumor dan misinformasi, jangan ditelan mentah-mentah
Menurut MLA Fraksi PKB ini, hal tersebut merupakan tantangan demokrasi di era digital.
Ketika mereka menerima terlalu banyak informasi, orang cenderung memproses informasi yang mereka terima dengan cara yang pintas.
Baca juga: Wanita Dibunuh, Jenazah Korban Dimasukkan ke Koper, Identitas Terungkap
Intinya, saat ini kita memasuki apa yang disebut post-truth, yaitu situasi di mana kebenaran tidak didasarkan pada fakta, tetapi pada jaringan emosional orang-orang yang memiliki pendapat serupa. Oleh karena itu era teknologi informasi “It is the truth” diabaikan, karena sekarang yang terpenting adalah bagaimana sesuatu itu dilaporkan,” ujarnya.
Katanya, “Masalahnya informasi itu benar atau tidak (tidak masalah). Kalau mereka terus-menerus memberi informasi maka itu akan menjadi benar. Ini yang disebut post truth.”
Taufiq mengatakan, saat ini banyak sekali konten palsu, penipuan bahkan konten buruk yang tersedia secara online dan banyak orang yang terjebak dalam mempercayai konten yang sebenarnya tidak benar. Lalu mengapa mengkonsumsinya? Karena walaupun informasinya tidak benar, yang bersungguh-sungguh adalah masyarakatnya. Sekarang hal ini banyak terjadi.
Katanya, “Orang baik, yang niatnya baik, tapi melaporkan sesuatu yang tidak baik.”
Dari situlah muncul sikap kontradiktif di kalangan orang-orang baik terhadap suatu hal yang tidak baik. Masalahnya, saat ini tidak ada pihak yang bisa mengontrol informasi yang tersedia secara online.
Katanya, “Pemerintah patah semangat karena saat ini semua orang bisa menjadi sumber informasi, bebas memproduksi apa pun. Begitulah keadaan yang terjadi saat ini.”
Situasi ini semakin diperparah dengan rendahnya literasi digital di masyarakat. Dimana masyarakat masih belum mempunyai kemampuan untuk menghitung dan mengartikulasikan atau mencari tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Persoalannya adalah bagaimana kita sebagai bagian dari bangsa bisa menjadi pionir dalam membangun perdamaian. Perbedaan pilihan politik adalah hal yang wajar dalam negara demokrasi, namun kita tidak boleh ikut serta dalam diskusi yang tidak perlu. Semuanya sudah selesai,” kata Taufiq.
Sementara itu, praktisi literasi digital R Vijaya Kusumvardhan menyoroti beberapa potensi kerentanan pemilu. Mulailah dengan kebijakan moneter. Faktanya, jual beli suara dalam pemilu dapat melemahkan legitimasi calon terpilih.
Fanatisme ekstrim dan pragmatisme politik adalah contoh pengaruh kebijakan moneter.
Selain itu, yang perlu diperhatikan adalah politisasi Sara. Masyarakat bisa saja saling berhadapan hanya karena perbedaan atau keunggulan salah satu suku atau agama. “Hal ini harus dihindari tahun ini,” kata Vijaya.
Hal lainnya adalah adanya berita bohong dan ujaran kebencian. Hal ini mungkin bisa terjadi di dunia Barat, namun kita yang menjunjung tinggi Pancasila harus bisa mencegahnya.
Lantas, apa yang harus dilakukan agar pemilu berjalan terpadu dan damai?
“Pertama, kami berupaya mengorganisir teman, keluarga, mungkin relawan, mengirimkan pesan perdamaian dan menjaga persatuan pasca pemilu. Kedua, mendorong pendidikan multikultural atau mengadakan berbagai acara untuk mengedukasi para pemilih. pesan pemilu.” “Alumni berbicara tentang gelar master Monash University.
Namun kita harus selalu mengingat kekacauan, karena teknologi digital telah mengubah cara berpikir dan pola kerja masyarakat sehari-hari, dan untuk mengatasi banjir informasi tersebut, kita bisa mengatasinya dengan cara yang simultan dan sistematis. Perlu adanya pendidikan secara formal dan terstruktur.
Oleh karena itu, penting untuk mengedukasi masyarakat untuk mencari kebenaran, bukan pembenaran, kata staf ahli Menteri Ekonomi, Sosial, dan Budaya Kementerian Komunikasi dan Informatika mulai Mei 2023 ini.
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan 42 persen masyarakat Indonesia meyakini misinformasi menyebar di Internet.
Untuk mencegahnya, salah satu caranya adalah dengan mempercepat literasi digital dan menjaga ruang digital yang sehat dan aman.
Ada 4 poin penting untuk menjaga ruang digital. Artinya, mengembangkan infrastruktur digital yang berkeadilan dan dapat diakses oleh seluruh masyarakat, membangun komunitas digital, memperkuat ekonomi digital, dan mengembangkan masyarakat digital.
Dalam mencegah munculnya penipuan dan ujaran kebencian, Vijaya memberikan beberapa saran bijak dalam menggunakan media sosial. Seperti sopan dalam berkomunikasi, selektif dalam menyebarkan informasi, tidak membagikan rahasia pribadi, membiarkan data pribadi, mengatur waktu online secara sistematis dan menghormati hak kekayaan intelektual.
Ia berkata, “Jika kita bisa menerapkan lima langkah sederhana ini, Insya Allah kita bisa menghentikan hasutan dan penipuan di media sosial.”
Selain itu, Vijaya juga menghimbau masyarakat untuk cerdas dalam memilih, khususnya saat mencoblos pada Pilkada 2024.
“Caranya adalah dengan memahami program kerja para calon dan memperhatikannya dengan baik, memahami komitmen para calon, waspada terhadap provokasi yang disengaja, menolak politik uang, dan menyadari bahwa pemilu berarti membangun bangsa,” Wijaya. menyimpulkan.
Sementara itu, pendiri Padsuka TV Yusuf Mars juga menilai pemilu seringkali memperkuat polarisasi politik di masyarakat.
Ketika opini publik terbagi tajam antar kubu, ada kemungkinan terjadinya hasutan dan penyebaran rumor untuk memperkuat opini masing-masing pihak.
Hal ini didukung oleh algoritma media sosial yang seringkali memperkuat filter bubble, dimana pengguna hanya dipaparkan pada ide-ide yang sesuai dengan keyakinannya.
“Hal ini menciptakan lingkungan di mana penipuan dan provokasi dapat dengan mudah berkembang dan dibenarkan,” jelas Direktur Eksekutif Indonesia Technology Forum (ITF) ini.
Yusuf percaya bahwa penyebaran konten palsu dalam skala besar terjadi bersamaan dengan kemajuan teknologi internet dan komunikasi media sosial. Ada juga fenomena post-truth dimana batasan antara kebenaran dan kebohongan menjadi kabur.
“Di era post-truth ini, penyebaran konten palsu melalui internet atau media sosial biasanya ditujukan untuk menyerang kandidat peserta pemilu,” kata Yusuf.
Produksi dan peredaran konten palsu berupa isu politik dan SARA meningkat pada proses Pilkada pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun 2017, ujarnya.
Mengapa ini terjadi? Sebab kegaduhan di media sosial berkaitan dengan kebebasan berpendapat pemilik akun. Lalu ada juga tuntutan untuk selalu hadir dan viral. Hal ini juga didukung oleh motif politik dan ekonomi serta pemahaman yang lemah atau bahkan diabaikan mengenai literasi digital, sehingga penipuan dan konten yang menghasut nampaknya menjadi cara yang tersebar luas.
Ia mengatakan, “Media sosial menganggap mereka dapat mengaburkan realitas sosial dengan memanipulasinya menjadi sesuatu yang nyata. Di sisi lain, media sosial juga mampu memanipulasi realitas fiksi menjadi sesuatu yang terkesan realistis.”
Mari kita wujudkan masyarakat digital yang berbudaya Indonesia: masyarakat yang anti penipuan dan toleran serta menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, kata Wijaya. (RHS/JPNN) Dengar! Video Pilihan Editor:
Baca artikel lainnya… Kasus Penganiayaan dan Penikaman Mahasiswa Anapam, Polisi Tetapkan 4 Tersangka