saranginews.com, Jakarta – Mahkamah Agung (MA) pada 2016 mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) kasus mafia tanah mantan diplomat Kementerian Luar Negeri (alm) Johan Effendi.
PK berpindah ke putusan kasasi no. 2721 K/Pdt/2021 sebelumnya diajukan pada 21 September 2022 oleh kuasa hukum ahli waris Lutfi Adrian dan Siti Sarita.
Baca Juga: Menteri AHY Ungkap Puluhan Mafia Tanah Diincar Aksi, Tunggu Saja!
Subyek perkara ini adalah Jalan Kemang V no.
Pada 3 Mei 2023, rumah tersebut telah sah menjadi milik korban, kata Arlan Sitinczak, kuasa hukum korban.
Baca juga: Merasa Ditipu Mafia Tanah, Diplomat Indonesia Tuntut Keadilan
Oleh karena itu, perkara ini kami menangkan melalui putusan majelis penyidik MA, kata Arlan Sitinjak, Minggu (26/5).
Rumah tersebut dimulai pada tahun 2016 ketika disewakan kepada Hussain Ali Muhammad dengan harga Rp 45 juta per bulan. Hussain kerap mengajak korban belajar agama di rumah.
Baca: Heikal Safar berharap AHY bisa mengakhiri maraknya mafia tanah
Selang beberapa waktu, pelaku meminjam dua buah surat keterangan (SHM) milik korban karena ingin mengurangi aliran listrik. Awalnya Johan hanya memberikan salinannya, namun PLN meminta untuk menunjukkan SHM aslinya, sementara Hussin kembali membantah.
Untuk meyakinkan korban, pada 12 Juli 2016, pelaku menghadirkan petugas PLN palsu yang dibunuh tentara. Akibatnya, korban meminjam dua buah sertifikat asli yang kemudian dibuat oleh pelaku.
“Setelah diterbitkan, pelaku hanya perlu waktu beberapa menit untuk mengembalikan sertifikat yang telah mereka buat sebelumnya dan yang mereka kuasai,” kata Arlan.
Mantan Kasat Narkoba Polres Metro Bekasi ini menambahkan, pelaku surat keterangan asal menjual rumah korban kepada Santoso Halim seharga Rp 15 miliar, bersama sosok palsu Johan Effendi yang diperankan Halim (DPO).
Selanjutnya pada tanggal 12 Agustus 2016, perjanjian jual beli palsu tersebut disusun sebagai transaksi yang sah di hadapan Notaris/PPAT Lucy Indriani. Dalam transaksi ini, Santoso memindahkan Rp 8 miliar.
Aneh sekali uang pembelian itu tidak dibayarkan kepada penjual yang merupakan DPO Halim atau Johan Effendi, melainkan kepada Hussin, kata Arlan.
Kaget dengan kejadian tersebut, Johan kemudian meminta BPN melarang SHM. Namun BPN urung mengusut siapa sebenarnya Johan Effendi.
Korban kemudian mengajukan pengaduan perdata dan pidana ke Polres Jakarta Selatan pada 6 Februari 2017.
Hussain akhirnya ditangkap dan divonis 4 tahun penjara setelah kedapatan menyembunyikan perbuatan yang terbukti dan surat palsu, baik di Pengadilan Tingkat Pertama maupun di tingkat banding dan kasasi. (jlo/jpnn)