Pemerintah Diminta Pisahkan Regulasi Produk Tembakau dari RPP Kesehatan

saranginews.com, Jakarta – Sejumlah pelaku industri tembakau meminta pemerintah memisahkan aturan produk tembakau dengan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang kesehatan, karena aturan tersebut berasal dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Mereka adalah Gabungan Produsen Rokok Indonesia (GAPPRI), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dan Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI).

Baca juga: Rokok Ilegal Jadi Alasan Pengurangan Bea Masuk Tembakau

Ketua Umum GAPPRI Henry Naguan mengatakan industri tembakau legal (IHT) saat ini masih mengalami penurunan akibat beberapa insentif regulasi yang berlebihan, sehingga pihaknya meminta agar regulasi tembakau dipisahkan dari kebijakan kesehatan RPP.

Tantangan tersebut juga terlihat dari realisasi penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun 2023 yang belum memenuhi target yakni hanya sebesar Rp213,48 triliun atau 91,78% dari target APBN.

Baca juga: Pupuk Kaltim Anugerahi Top 15 Distributor Penjualan, Jalan-Jalan ke Luar Negeri

Target Chittagong Hills pada tahun 2024 yakni Rp 230,4 triliun atau meningkat 5,08% dibandingkan target tahun sebelumnya, bisa tercapai.

Hingga April 2024, pendapatan Chittagong Hills tercatat masih lebih rendah 7,3% dibandingkan periode yang sama secara year-on-year (YoY).

Baca juga: Kampanye SASA #BeYouBeConfident Percaya diri tidak memerlukan apresiasi dari orang lain

“Jika RPP terus dibatasi dengan rancangan perdagangan yang ada saat ini, maka akan berdampak buruk pada iklim usaha di IHT. Banyaknya pembatasan IHT seperti bahan tambahan atau pembatasan TAR dan nikotin akan membuat GAPPRI menjadi GAPPRI. anggota keluar,” kata Henry.

Saat ini terdapat banyak peraturan yang berbeda mengenai pembatasan dan pelarangan IHT, setidaknya terdapat 446 peraturan yang mengatur IHT dengan rincian 400 peraturan berupa pengendalian atau pengendalian (89,68%), 41 peraturan yang mengatur CHT (9,19%), dan hanya 5 peraturan yang mengatur masalah ekonomi atau kesejahteraan sosial (1,12%).

“Dengan bertambahnya RPP (kesehatan), tentu akan muncul IHT. “IHT akan semakin sulit jika harus berpegang pada ketentuan RPP (kesehatan), seperti perubahan kemasan dan bahan baku, sehingga biaya menjadi lebih rendah. . “Sangat tinggi, dan peraturannya lebih ketat,” imbuhnya.

GAPPRI juga berharap pembagian regulasi penjualan rokok tradisional dan rokok elektrik bisa lebih detail.

Pasalnya, kedua jenis rokok tersebut memiliki sistem lingkungan yang berbeda, dan sebagian besar rokok tradisional menggunakan bahan baku lokal (TKDN).

“Rencana kebijakan daerah (peraturan tembakau) tidak boleh diambil secara terburu-buru. Kami berharap pemerintah mengajak semua pihak untuk menyusun rencana kebijakan daerah (kesehatan), sehingga menghasilkan rencana kebijakan daerah yang matang dan dapat diterima semua pihak. ” Henry menjelaskan, pada tahun 2012 dibutuhkan waktu tiga tahun untuk mendapatkan draf yang ada saat ini.

Ketua Umum Aprendo, Rui Nicolas Mandy, mengatakan pihaknya mengapresiasi adanya undang-undang yang mengatur konsumsi tembakau dari sisi kesehatan.

Namun, perlu dicatat bahwa terdapat kebutuhan untuk diskusi ekstensif mengenai pelarangan dan pembatasan penjualan produk tembakau karena berkaitan dengan kesejahteraan ekonomi dan tenaga kerja yang terlibat dalam IHT.

Pasal yang menurutnya bisa menimbulkan pelanggaran dalam pelaksanaannya antara lain larangan penjualan dalam radius 200 meter di fasilitas pendidikan.

Dia menilai aturan tersebut merupakan klausul elastis yang bisa menimbulkan salah tafsir.

“Sangat mudah (aturan ini) untuk diselewengkan di lapangan. Ujung-ujungnya, praktik di lapangan akan menimbulkan saling pengertian atau kompromi. Ini yang tidak kita inginkan.” Karena ada klausul elastis yang dieksploitasi oknum oknum dalam pelaksanaannya.”

Pemerintah harus menggencarkan sosialisasi untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai konsumsi tembakau, dan tidak sekedar memperketat pembatasan dan pelarangan yang berpotensi mengganggu ritme perekonomian daerah.

“(Kalau begitu) jangan berharap konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang PDB kita bisa mencapai 6-7 persen,” ujarnya.

Selain itu, PP FSP RTMM-SPSI juga meminta pemerintah melibatkan pelaku IHT dalam setiap pembahasan peraturan yang akan dibuat.

Berbagai unsur tembakau dalam Rencana Kesehatan Daerah (RPP) yang menjadi perhatian pemangku kepentingan IHT meliputi unsur terkait TAR dan batasan nikotin, potensi pelarangan bahan tambahan, unsur terkait jumlah batang dalam kemasan, larangan penjualan rokok untuk dijual, dan peraturan terkait jam malam untuk penayangan iklan di layar televisi, serta larangan promosi di media sosial.

Selain itu, terdapat pula pasal mengenai larangan penjualan dengan jarak kurang dari 200 meter dari tempat pendidikan dan larangan memajang hasil tembakau (chi/jpnn).

Baca artikel lainnya… Cabang SIG Raih Penghargaan Entrepreneurial Marketing BUMN 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *