Gejala IBD Sering Terabaikan,  Akibatnya Fatal, Waspadalah 

saranginews.com, JAKARTA – Kekhawatiran terhadap penyakit radang usus (IBD) saat ini masih sangat rendah di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Gejalanya sering diabaikan karena terlihat seperti diare pada umumnya.

BACA JUGA: Cegah serangan berbagai penyakit kronis dengan menggunakan 4 vitamin ini

Tingkat kematian pada pasien IBD adalah 17,1 per 1.000 orang-tahun, dibandingkan dengan 12,3 per 1.000 orang-tahun pada kelompok kontrol.

IBD adalah sekelompok penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan pada usus kecil dan besar. Nantinya, unsur-unsur sistem pencernaan diserang oleh sistem kekebalan tubuh sendiri.

BACA JUGA: Cegah penyakit jantung dan hipertensi, Ajinomoto ajarkan masyarakat untuk bijak menggunakan garam

Kepala Eksekutif RS Abdi Valuyo Dr. Roswin RD, MARS mengatakan, pihaknya berkomitmen terhadap kesehatan pasien dengan meningkatkan kesadaran masyarakat (pasien, Red.) terhadap IBD di Indonesia dengan memberikan akses pengobatan IBD.

Selain berkolaborasi dengan asosiasi medis untuk meningkatkan pengetahuan, diagnosis dan manajemen IBD. 

BACA JUGA: Hati-hati, Ini Bahaya Terlalu Banyak Makan Kurma yang Dihantui Penyakit Ini.

“Ini adalah waktu bagi kita untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran terhadap penyakit ini, tantangan sehari-hari pasien yang hidup dengan IBD, kebutuhan akan akses yang lebih baik terhadap layanan IBD, dan lebih banyak penelitian untuk menemukan pengobatan yang lebih baik,” kata Dr. Roswin dalam rangka memperingati Hari Penyakit Radang Usus Sedunia 2024. pada topik IBD Tidak Mengenal Batas baru-baru ini.

Ia menambahkan, IMS bisa menyerang siapa saja, tanpa memandang usia.

IBD merupakan penyakit inflamasi dengan penyebab multifaktorial.

Pada dasarnya IBD dibagi menjadi 3 jenis: Kolitis Ulseratif (UC) dan Penyakit Crohn (CD). Sekarang ada jenis IBD lainnya, yaitu kolitis tak tentu (tidak terklasifikasi). 

Pada UC, peradangan dan jaringan parut terjadi di sepanjang lapisan superfisial usus besar dan rektum, sehingga Anda sering merasakan nyeri di sisi kiri bawah perut.

Sedangkan pada CD, peradangan terjadi pada lapisan saluran cerna yang lebih dalam sehingga sering merasakan nyeri pada perut bagian kanan bawah, namun perdarahan rektal lebih jarang terjadi.

Pasien dengan UC memiliki peningkatan risiko 6 kali lipat terkena kanker kolorektal dibandingkan dengan penyakit radang usus lainnya. Namun, hanya 5% kasus UC parah yang berkembang menjadi kanker kolorektal.

Prof. Dr. Marcellus Simadibrata, PhD, SpPD, KGEH, FACG, FINASIM, Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Gastroenterologi RS Abdi Valuyo mengatakan, penyebab IBD masih belum jelas. IBD tentunya disebabkan oleh adanya gangguan pada sistem kekebalan tubuh.

“Namun kesalahan pola makan dan tingkat stres yang berlebihan juga bisa memicu IBD. Faktor keturunan juga berperan dalam SBS, meski jumlah penderitanya sangat sedikit,” jelasnya.

Prof melanjutkan perkembangannya. Marcellus, IBD yang tidak diobati dapat memperburuk kondisi pasien akibat komplikasi yang ditimbulkannya.

Penderita UC mungkin mengalami megaloconus toksik (pembengkakan toksik pada usus besar), perforasi kolon (lubang di usus besar), dehidrasi parah, dan peningkatan risiko kanker usus besar. 

Pada CD, kata dia, penderitanya bisa mengalami obstruksi usus, malnutrisi, fistula, dan fisura anus (robekan pada jaringan anus).

Jika kedua jenis IBD ini tidak dikendalikan, dapat menyebabkan komplikasi seperti pembekuan darah, peradangan pada kulit, mata, persendian, dan komplikasi lainnya.

Diagnosis IBD ditegakkan berdasarkan keluhan pasien, seperti nyeri perut berulang, perubahan BAB, tinja berdarah, dan penurunan berat badan, disertai dengan pemeriksaan fisik dan penunjang. 

“Tes tambahan yang diperlukan meliputi feses, darah, radiologi (CT perut dan MRI sesuai indikasi) dan endoskopi gastrointestinal. “Kemudian pasien yang terdiagnosis penyakit radang usus akan dinilai tingkat keparahan penyakitnya menggunakan sistem skoring,” jelas Prof. Marcel, nama panggilannya.

Memudahkan penanganan penyakit IBD umumnya dengan terapi obat (pil dan suntikan).

Namun, beberapa situasi memerlukan pembedahan/pembedahan atau bahkan pengobatan dengan kombinasi obat-obatan dan pembedahan. 

Jenis vaksinasi tertentu juga direkomendasikan untuk pasien IBD sebagai bentuk pencegahan infeksi. 

Prof. Marcel juga menjelaskan bahwa penanganan pasien IBD memerlukan kolaborasi multidisiplin karena manifestasinya bisa multiorgan. 

“IBD Center RS ​​Abdi Valuyo menawarkan serangkaian layanan terpadu dari dokter spesialis dan subspesialis di berbagai bidang, antara lain gastroenterologi, bedah pencernaan, nutrisi, psikososial, dan layanan lainnya,” ujarnya.

Sementara itu, untuk meningkatkan pelayanan bagi pasien IBD, Rumah Sakit Abdi Valuyo bekerja sama dengan University of Chicago melalui diskusi kasus yang menantang, simposium kolaboratif, dan kuliah mini. Kerja sama ini dimulai pada tahun 2023 dan berlanjut hingga saat ini. 

Dr. natania s. Sutisna, SpGK, ahli gizi klinis RS Abdi Waluyo, mengatakan beberapa faktor risiko IBD berasal dari sisi pola makan, terutama dari seringnya konsumsi makanan olahan dan suplemen nutrisi.

Oleh karena itu, pola makan pasien SBS harus diubah dan disesuaikan dengan pengobatan utama.

Saat gejala muncul, pasien harus memperhatikan kebutuhan kalori dan protein yang lebih tinggi dibandingkan dalam keadaan sehat dan memperhatikan keseimbangan cairan.

“Bila tidak ada gejala (remisi), makanan harus disesuaikan untuk mengembalikan status gizi pasien, dan makanan diberikan secara bertahap selama gejala masih terkendali,” jelas dokter. Natalya:

Ia menambahkan, pasien perlu memahami bahwa proses peradangan penyakit ini dapat dikurangi jika mereka mematuhi pengobatan dan perubahan gaya hidup, salah satunya dengan mengatur pola makan dan nutrisi sesuai tingkat IBD dan olahraga. (esy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAGI… Kisah Irma Dharmavangsa yang Menderita Penyakit Aneh Tiba-tiba Tak Bisa Duduk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *