saranginews.com – JAKARTA – Sebuah kejadian di mana seorang ulama diduga memasukkan informasi palsu ke dalam sertifikat asli menarik perhatian banyak ulama Budha.
Saat ini kasusnya sedang diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Utara oleh terdakwa Bikuni Iwa dan seorang warga negara bernama Aki.
Baca juga: Kejaksaan Agung menuntut lima perusahaan Willmar Group karena merugikan negara Rp 12,3 T
Kedua pria tersebut dimasukkan ke dalam tahanan kota karena dicurigai membuat dua pernyataan palsu.
No: 26 (tanggal 7 Agustus 2017) dan No: 01/KHM /VIII/17 (tanggal 7 Agustus 2017).
Baca juga: 4 Terdakwa Minta Hukuman Mati
Peristiwa tersebut disebut-sebut menimbulkan kerugian bagi Katarina Bongo Varsito, mantan istri putra Aki, Alexander Mwito (almarhum).
Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa Alexander tidak pernah menikah secara sah dengan siapa pun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
Baca juga: Terdakwa TPPO Bengkulu dinyatakan bersalah, divonis 4 tahun 6 bulan penjara
Namun dalam persidangan yang dipimpin hakim Sofia Marurianti dengan didampingi Hotná Simalmata dan Dian Erdianto, dua saksi justru menyatakan sebaliknya.
Dua orang saksi, Tan Ngek Rui dan Metta Dewi mengatakan Alexander dan Katarina sudah resmi menikah.
“Alex dan Katarina menikah di Vihara. Kurang lebih satu tahun mereka tinggal bersama, lalu bercerai,” kata Tan dan Metta di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (25/4/2024).
Sementara itu, kuasa hukum Catalina Bongo, Sugen Teg Santoso, mengatakan para saksi mengatakan kliennya pernah menikah dengan mendiang Alexander.
“Dari keterangan saksi terlihat jelas bahwa Alexander dan Katerina sudah menikah kurang lebih dua tahun sebelum bercerai. Mengapa dalam akta disebutkan Alexander belum menikah? Itu tidak benar,” ujarnya.
Sugeng mengatakan, dalam perkara pidana, pembuktian tidak sepenuhnya bergantung pada akta Notaris.
Melainkan keterangan saksi-saksilah yang relevan dengan alat bukti, baik berupa surat maupun dokumen lainnya.
“Perkara yang diusut oleh kepolisian kemudian dilimpahkan ke kejaksaan setelah jaksa mengajukan P-21 pada umumnya merupakan perkara yang mempunyai bukti kuat. Sudah ada dua alat bukti, dan ada bukti adanya tindak pidana. Itu kuat,” katanya.
Banyak pendeta juga bereaksi terhadap kejadian tersebut. Spiritualis senior Buddha Bhante Bodhi mengatakan insiden itu merupakan tamparan keras bagi umat Buddha.
Pasalnya, ada ratusan aturan yang sangat ketat bagi biksu dan biksuni. Jika terlibat dalam persidangan, harus melepas jubah dan seluruh atribut biara, kata Bhante Bodhi di Jakarta. , Kamis (16/5/2024).
Menurut Bhante Bodhi, berbohong atas nama umat Buddha merupakan pelanggaran serius. Selain itu, ada orang yang sangat terluka karena kebohongannya.
Oleh karena itu Pak Bhante Bodhi meminta Kementerian Agama memperhatikan hal tersebut.
“Sebagai biksu senior, saya akan terus berjuang melindungi pakaian suci agama Buddha dari tirani para pemuka agama,” ujarnya.
Pendapat senada diungkapkan Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabdi) yang juga seorang Guru Besar. Dr. Philip K. Wiaya.
“Kalau [ulama] berkonflik dengan hukum, dilarang berdakwah lagi,” jelas Philip.
Hal serupa juga disampaikan oleh Budi Kumara Lohaniawan Sanghar Pamjan Chandi Buddha Jawi dari Vihara Eka Jaya Lampung.
“Jika kesalahan yang dilakukan juga termasuk dalam aturan (Vinaya), maka hendaknya seorang bhikkhu/bhikkuni menanggalkan pakaiannya dan kembali menjadi anggota keluarga dengan menjalankan Pankasila atau lima aturan moral dengan melakukan ibadah ini kalimat yang lebih berbudi luhur. ,” kata Budi Kumara. (Gadis / Jepang)
Baca artikel lainnya… Kesaksian ahli Nilai perhitungan BPKP tidak benar dan tidak membuktikan kerugian dalam kasus BTS