saranginews.com, JAKARTA – Kesuksesan Partai Golkar pada pemilu legislatif (Pileg) 2024 membuka peluang memenangi pemilu berikutnya. Termasuk memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) mendatang.
Pendapat tersebut disampaikan Direktur Politik Political Strategy Group (PSG), Arif Budiman, Senin (5/6/2024).
Baca juga: Sudah 243 Orang Mendaftar, Golkar Segera Seleksi Balon Kada di Sumut
Ia menilai perolehan suara Golkar yang mencapai 5,9 juta suara menunjukkan tren ke arah positif.
Perolehan suara partai berlambang beringin itu hampir mendekati perolehan suara saat memenangkan pemilu 2004. Saat itu, Golkar memperoleh 24.480.757 suara yang berhasil dikonversi menjadi 127 kursi di DPR, kata He.
Baca juga: Paulus Waterpauw Maju di Pilgub Papua, Ini Respons Golkar dan Hanura
Di sisi lain, prestasi tersebut membuktikan ketangguhan lembaga Gulkar sebagai sebuah partai.
Ia mengatakan, Golkar tak gentar meski berbagai pihak melakukan berbagai upaya demoralisasi dan deinstitusionalisasi terhadap partai berlambang pohon beringin itu sepanjang era reformasi.
Baca Juga: Syukuri Hasil Pemilu 2024, Pengurus Partai Golkar Jalani Ibadah Umrah
Dia mencontohkan ketika Presiden Abdurrahman Wahid berencana melepaskan Golkar melalui keputusannya.
Selanjutnya, muncul resistensi kuat dari kelompok reformis akar rumput yang menyebut Golkar sebagai partai Orde Baru.
“Bukan berarti tidak ada dampak politik terhadap Golkar. Yang jelas perolehan suara mereka menurun. Namun, Golkar selalu bisa finis di tiga besar,” kata Arief.
Resistensi Golkar, kata Arief, dipengaruhi oleh stabilitas institusinya yang mampu beradaptasi dengan cepat di era reformasi. Hal ini juga yang menjadi jalan Anda menuju kesuksesan di pemilu legislatif 2024.
Arief menggambarkan strategi Golkar pada pemilu legislatif 2024 adalah kebijakan kredit-debit. Bahwa dengan modal genetik stabilitas kelembagaan, Golkar secara cermat memperhitungkan setiap langkah untuk mengubah setiap biaya yang dianggap sebagai beban menjadi keuntungan politik.
Strategi politik kredit-debit membuat Golkar lebih leluasa maju di pemilu. Mereka tidak segan-segan mengambil risiko atau kerugian politik, selama mereka menganggap hal tersebut akan memberikan keuntungan yang lebih besar bagi mereka.
Arief menilai Golkar berani menghentikan dan memusatkan faksionalisme di dalam dirinya di tengah risiko perpecahan tiada akhir yang bisa menghancurkan organisasi.
Golkar kemudian membuka diri terhadap calon legislatif yang berafiliasi dengan dinasti politik di tengah sentimen negatif terhadap praktik politik dinasti, yang justru berpeluang mengingatkan masyarakat akan sejarahnya sebagai partai politik Orde Baru, kata Arief.
Pendekatan ini, menurut Arief, sangat khas Golkar dan mewakili sifat dasar Golkar sebagai partai politik yang pragmatis.
Meski pada pemilu-pemilu sebelumnya di era reformasi, Golkar lebih berhati-hati dalam memainkannya.
Mungkin karena saat itu mereka masih dalam proses adaptasi demokrasi dan belum menemukan momentum yang tepat.
“Namun perlu diingat bahwa sebagian besar kunci keberhasilan politik adalah membaca momentum dengan cermat. Dan hasil Golkar pada Pemilu 2024 menunjukkan bahwa strategi yang dijalankannya dilakukan dengan momentum yang tepat,” kata Arif.
Namun, menurut Arief, Golkar yang bangkit masih menghadapi tantangan untuk meraih kemenangan telak pada pemilu mendatang.
Golkar boleh saja memenangkan pemilu legislatif 2029, namun ia akan kesulitan memenangkan pemilu presiden jika tidak mampu menghadirkan sosok kharismatik berkaliber nasional.
Oleh karena itu, penting bagi Golkar untuk segera mencari sosok karismatik yang dipersiapkan secara khusus untuk Pilpres 2029. Pilkada yang digelar November nanti bisa menjadi alat seleksi.
Mengingat tren kepemimpinan nasional mengarah pada tokoh-tokoh yang mempunyai pengalaman politik sebagai kepala daerah. Setidaknya dalam tiga pemilu terakhir, sebagian besar calon adalah mantan kepala daerah, kata Arif.
Selain itu, Golkar perlu merekrut tokoh-tokoh dari kalangan teknokrat yang menjadi nilai jualnya di masa lalu.
Hal ini tidak lepas dari kebijakan perekonomian Indonesia yang dimulai kembali ke arah pembangunan fisik dan industri. Berbeda dengan awal era reformasi yang cenderung ke arah pembangunan politik.
Tantangannya bisa sangat berat bagi Golkar. Setidaknya kalau melihat sosok politisi berkaliber nasional, yang bertanggung jawab saat ini kebanyakan adalah aktivis, kalau tidak terkait dengan ras dinasti, kata Arief.
Sementara itu, menurut Arief, masuknya sosok baru yang akan diusung ke kepemimpinan nasional sangat mungkin mendapat perlawanan dari faksi-faksi yang saat ini menetap di Golkar.
“Perlawanan terhadap sosok B.J. Habibi di masa lalu barangkali merupakan contoh nyata kemungkinan tersebut. “Tetapi sekali lagi, Golkar mau tidak mau harus mencari hobi baru, meski harus turun ke bawah jika ingin menang langsung pada pemilu mendatang,” kata Arief (Jumat/JPNN).