Pakar Minta Pemerintah Waspadai Bencana Ekstrem 32 Tahunan

saranginews.com, JAKARTA – Pakar pertahanan dan pangan Dina Hidayana mengingatkan calon presiden agar tidak menunda-nunda untuk memprioritaskan hal-hal mendasar, yakni sektor pangan.

Menurut Dina, pemerintahan selanjutnya harus segera fokus penuh untuk mencapai kemandirian dan kedaulatan pangan.

BACA JUGA: Kementerian Pertanian evaluasi tim khusus prakiraan darurat pangan di Kalimantan Selatan

Hal ini tidak boleh dijadikan retorika belaka, karena tidak semua makanan yang dikonsumsi manusia tersedia secara gratis.

“Sebagian besar perlu diproduksi atau dibudidayakan dan ini membutuhkan waktu yang lama, sedangkan jumlah penduduknya terus meningkat pesat,” kata Dina dalam keterangannya usai memimpin Rapat Paripurna Pengurus Ikatan Alumni Pertanian (IKATANI) beberapa waktu lalu. yang lalu.

BACA JUGA: Kementan Laksanakan TOT Operasi Prakiraan Darurat Pangan Nasional 2-4 Mei

Dina menjelaskan, ketersediaan bahan baku pangan, unsur hewani dan tumbuhan, tidak bisa serta merta terjadi.

Beberapa jenis ikan air tawar misalnya membutuhkan waktu berkembang biak sekitar 2-9 bulan, ayam membutuhkan waktu hingga tiga bulan, beras minimal dua bulan, kedelai yang merupakan bahan baku tahu dan tempe membutuhkan waktu 2-3 bulan. berumur bulan, begitu pula jenis sayuran dan buah-buahan lainnya yang waktu panennya berbeda-beda, dan semuanya memerlukan proses dan waktu.

Lebih lanjut, Dina Hidayana menekankan pentingnya pengelolaan yang berpikir sistematis dan komprehensif dalam mengatasi permasalahan cumi-cumi pangan Indonesia, baik di masa damai maupun sebagai cadangan untuk mengantisipasi perang dunia ketiga.

Persoalan ketersediaan, keberlanjutan, kualitas dan daya beli masyarakat terhadap pangan memerlukan skema konseptual yang menyeluruh dan tidak bisa parsial. Hal inilah yang menjadi salah satu fungsi Presiden ke depan dalam melakukan harmonisasi sektor tersebut agar semua kementerian/lembaga bekerja menuju tujuan yang sama.

Alumni PhD Universitas Pertahanan Indonesia ini menggunakan metode Computable General Equilibrium (CGE) untuk memprediksi beberapa skema linkage lintas sektor dan subsektor.

Dina mengatakan, tren negatif yang menjadi potensi bahaya selama 32 tahun ini patut diwaspadai.

Hasil simulasi pesimis pada tahun 2030 dengan penurunan produksi pangan sebesar 10 persen berpotensi meningkatkan inflasi hingga 170 persen dari skenario baseline.

Sebaliknya, peningkatan produksi pangan sebesar 10 persen justru menurunkan inflasi lima kali lipat dibandingkan skenario baseline, kata Dina.

Artinya, lanjut Dina, penurunan produktivitas pangan harus diwaspadai, karena berdampak besar terhadap tingginya inflasi yang berujung pada instabilitas negara, jelas Dina Hidayana.

Menegaskan hal tersebut, Dina mengenang fenomena era orde lama yang diawali pada tahun 1966 dengan goncangan ekonomi yang dahsyat, yang diiringi dengan kelaparan, kematian massal, dan utang negara yang besar dengan hiperinflasi mencapai 650 persen, yang berujung pada berakhirnya rezim Presiden Sukarno. .

Kejadian yang sama juga terjadi pada akhir masa Orde Baru tahun 1998, harga pangan tidak terkendali akibat pergeseran kumulatif industri pangan ke arah ekstraktif dan ketergantungan impor bahan pangan pokok yang terus meningkat hingga puncak inflasi mencapai lebih dari 70. persen, segera melenyapkan rezim Soeharto meski sudah berkuasa selama 32 tahun.

“Sesuai pola yang sama, bencana ekstrem serupa diperkirakan akan terjadi pada tahun 2030 jika upaya mitigasi tidak segera dilakukan mulai sekarang,” kata Dina.

Oleh karena itu, Dina Hidayana yang juga Ketua SOKSI Depinas mendorong pemerintah untuk memulai revolusi politik yang konkrit dan mendasar di bidang pangan dan pertanian, dimulai dengan merumuskan kembali konsep keterpaduan antara pelaku dan daerah serta harmonisasi anggaran belanja negara. sektor pangan (mcr10/jpnn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *