saranginews.com, Jakarta – Staf Khusus Kementerian Modal/BKPM, M. Pradana Indraputra menyoroti ketidakadilan kerja sama antar negara pada Konferensi Tingkat Tinggi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) ke-60 di Kota Bandung, Rabu. (15/5).
Pradana dalam paparannya menyampaikan pandangannya mengenai kebijakan industri dan keuangan menuju transisi energi bersih.
Baca Juga: Menkominfo Johny ajak UNCTAD kembangkan tata kelola data global
“Kita sekarang hidup di dunia yang perekonomiannya tidak terlalu bersahabat,” kata Pradana seperti dikutip saranginews.com, Kamis (16/5).
Dijelaskannya, berdasarkan data Bank Dunia dan World In mengenai fakta produksi emisi gas rumah kaca dunia, delapan negara dengan perekonomian terbesar yang mencakup 30 persen penduduk dunia menyumbang 54 persen dari total emisi gas rumah kaca. 1998 hingga 2022
Baca Juga: BKPM ternyata sudah mewaspadai isu PHK besar-besaran di industri TPT ternyata
Sementara 70 persen penduduk dunia lainnya, yang sebagian besar adalah negara berkembang, harus menanggung beban yang sama dengan yang dialami 8 negara tersebut, lanjutnya.
Terkait hal tersebut, Pradana menekankan bahwa dalam kerja sama antar negara, tidaklah sempurna jika semua negara diperlakukan sama.
Baca Juga: BKPM: Alat ukur diperlukan untuk mencapai tujuan ekonomi hijau
Sebab, setiap negara memiliki kemampuan, kapasitas, dan sumber daya keuangan yang berbeda-beda, jelasnya.
Menurutnya, setiap negara harus diperlakukan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, menjamin keadilan dan kesetaraan.
“Secara historis, negara-negara maju berkontribusi paling besar terhadap emisi, sehingga harus mendukung negara-negara berkembang untuk mencapai kemajuan dengan kecepatan yang sama. Ini yang menjadi landasan dasar kerja sama antar negara,” tambah Pradana.
Selain topik kesetaraan, isu inflasi hijau yang diangkat oleh Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka juga dibahas dalam pertemuan puncak tersebut.
“Berdasarkan pengalaman kami (Kementerian Penanaman Modal/BKPM), agar transisi energi bersih dapat berkelanjutan, transisi tersebut harus layak secara ekonomi dan terjangkau. Pertanyaannya adalah bagaimana mencapai hal ini?” ujar Pradana.
Inflasi ramah lingkungan adalah ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan yang membuat biaya transisi energi ramah lingkungan menjadi tidak terjangkau secara ekonomi, katanya.
Selain itu, transfer teknologi sangat penting untuk menjadikan energi bersih terjangkau secara ekonomi, ujarnya.
Menurutnya, pemerintah Indonesia harus berevolusi dari sekedar regulator menjadi fasilitator dan game maker.
“Kementerian Investasi di Indonesia berwenang memberikan insentif finansial seperti tax holiday dan tunjangan. Konversi energi bersih menjadi salah satu kategori yang memenuhi syarat untuk menerima insentif tersebut,” jelasnya.
Dia mengatakan Kementerian Investasi dapat menawarkan keringanan pajak kepada perusahaan hingga 20 tahun dan berencana memperluas insentif untuk semua praktik berkelanjutan, bukan hanya energi bersih.
Pendekatan komprehensif inilah yang kami sebut sebagai kebijakan industri dan keuangan yang ramah lingkungan. Indonesia siap bekerja sama dengan negara lain dalam upaya ini, pungkas Pradana. (mcr8/jpnn)
Baca artikel lainnya… BKPM Fasilitasi Perizinan Usaha UMKM Bagi Pelaku Usaha Skala Besar