Cerita Jenderal Bintang dua dari Pedalaman Papua hingga Akpol

saranginews.com, JAKARTA – Irjen Polisi Mathius D. maFakhiri lahir di Ransiki, ibu kota Manokwari Selatan, dari pasangan Natalisa Jame Fakhiri, purnawirawan letnan kolonel asal Bade, suku Awyu.

Sedangkan Marta Kabuare merupakan anggota suku Inanwatu dan seorang perawat yang juga memiliki ayah seorang polisi. Matis Fakhiri adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara.

BACA JUGA: Polisi tangkap rekonstruksi kasus perampokan yang menewaskan seorang pelajar, tangis kekasih korban

Sejak kecil, ia sudah dihadapkan pada situasi yang membutuhkan tenaga ekstra.

Di usianya yang kurang dari dua tahun, Matius Fakhiri mengalami batuk dan kejang hingga sulit berbicara. Luther, adik Matius Fakhiri, kerap membantu kondisinya perlahan kembali normal.

BACA JUGA: Ini bukti-bukti yang dikumpulkan polisi dari penangkapan Rio Reifan

Faktanya, peristiwa OPM tahun 1967-1968. memaksa keluarga tersebut mengungsi ke rumah kakeknya di Manokvari. Setelah itu, keluarganya sering berpindah-pindah mengikuti pekerjaan ayahnya yaitu Dandis Ransiki, Bowen Digoel pada tahun 1970-an dan Kepi.

Pada tahun 1981, Kepi Mathis Fakhiri memulai pendidikan dasar di SD YPK Merauke. Setelah itu ia kembali pindah ke Jayapur dan melanjutkan pendidikannya di SMA YPPK Teruna Mulia Argapur.

BACA JUGA: Pendapat Reza soal Bunuh Diri Brigadir RA: Ada Pihak Lain yang Perlu Dibidik Polisi

Enam bulan kemudian, ayahnya dipindahkan ke Vamen, sehingga Matthias melanjutkan pendidikannya di YPPK St. sekolah menengah atas. Thomas Wamena. Setelah lulus, Mathis melanjutkan studinya di SMAN 2 Jayapura.

“Saat aku di sekolah, aku selalu berjalan kaki dari rumah ke sekolah. Seperti halnya ketika saya duduk di bangku SD di Merauke, saya harus rutin pergi dari Pelayaran Baru ke Ermas, seperti halnya ketika saya masih di SMA, saya harus pergi dari Bhayangkara ke Argapura. Anda juga harus berjalan kaki dari kantor polisi menuju sekolah Santo Thomas jika melanjutkan SMA di Wamena. “Saat saya di SMA Jayapur, saya masih harus berjalan kaki dari Bhayangkara menuju Dermaga 9 untuk sampai ke sekolah,” kata Matthias D. Fakhiri di Jayapur, Jumat (3/5).

Melihat proses yang dijalaninya, Fakhiri mengaku tak mempersoalkan betapa rindunya keluarganya, namun justru sangat bersyukur bisa semakin kuat seiring berjalannya waktu dan termotivasi untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin sejak dini. usia, berjuang untuk mencapainya di masa depan.

“Jalan ke samping, Jayapura terkenal dengan kendaraan yang berangkat (mengendarai) berdampingan (kosong di belakang). Ini jelas membuat pola pikir kita menjadi lebih baik dan kuat. “Kalau saya karena saya tinggal di Bhayangkara, maka tempat yang populer adalah Lumba-Lumba, apalagi di sana terdapat penjual pisang goreng yang enak,” ujarnya.

Bakat itu harus diasah, tidak bisa diabaikan begitu saja

Beliau menempuh pendidikan umum di SMAN 2 Jayapura. Rupanya Matius Fakhiri yang pendiam ini punya prestasi di dunia olahraga. Semasa bersekolah, kegiatan ekstrakurikulernya adalah atletik, dimana ia cukup berhasil menjuarai kejuaraan sekolah dan nasional.

Mathius Fakhiri dan kontingen Papua berhasil membawa Piala Presiden pertama ke Papua.

“Saya tidak nakal di sekolah. Sepulang sekolah, saya sering menghabiskan waktu di lapangan mandal untuk meningkatkan kemampuan olahraga saya bersama teman saya Pak Hamsa. “Jadi bakat-bakat itu perlu diasah dan tidak ditinggalkan atau diabaikan,” kata Fakhiri.

Menurutnya, setiap orang mempunyai bakat tertentu, namun tidak semua orang mau mengasahnya.

“Tentu sangat disayangkan jika bakat yang dimiliki tidak dikembangkan, padahal bakat juga penting untuk dipupuk, karena bisa menjadi jaminan untuk menatap kehidupan nyata, bisa menjadi alternatif pekerjaan, bisa menimbulkan optimisme dan optimisme. produktivitas, dan membiasakan ketekunan,” lanjutnya.

Menyikapi hal tersebut, Irjen Mathius Fakhiri menghimbau kepada setiap generasi muda untuk terus mengembangkan dan mengasah bakatnya melalui kegiatan positif agar lebih siap.

“Walaupun berlomba-lomba, kita tetap perlu membina hubungan baik dengan rekan-rekan (sahabat), dengan harapan ketika kita bertemu lagi, apa yang kita lakukan bersama akan menjadi sebuah cerita indah yang tidak akan pernah terlupakan.”

“Persahabatan merupakan kekuatan suatu bangsa dan negara, mengisi ruang-ruang kerja pembangunan. Jadi jangan tinggalkan sahabatmu karena sebenarnya sahabat dan saudara bisa saling bertemu saat kita sedang dalam masalah. “Itulah yang kami sebut sebagai teman senjata,” katanya.

Matis Fakhiri bukanlah orang baru yang mengabdi di Papua, setelah sebelumnya menjabat Wakil Kapolda Papua.

Berpengalaman di Brimob. Bahkan, Fakhiri beberapa kali digunakan dalam operasi di Papua seperti Operasi Nemangkawi, Operasi Pace Cartenz, dan Operasi Seroja. (mcr30/jpnn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *