Omzet Bisa Rp30 Juta per Hari, Dihajar Gempa, Baru Bangkit Diserbu Corona

saranginews.com – Adi Pitoyo berupaya keras menghidupkan kembali usaha batiknya yang sempat hancur pada 28 September lalu. Gempa bumi.

Seiring pertumbuhannya, warga Kota Palu (Sulawesi Tengah) kini menghadapi lesunya pasar akibat COVID-19.

BACA JUGA: Bu Risma Bekerja Sendiri – Bukti Eri Cahyadi Tak Serius Tangani Covid-19?

Seorang pengusaha Batik Motif Bomba (motif tenun khas daerah) sedang memutar otak agar keuangan keluarganya tetap berjalan, dan usaha yang dirintisnya 10 tahun lalu masih bisa bertahan di tengah badai corona.

Adi Pitoyo mengaku bingung dengan berbagai informasi seputar COVID-19 yang tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir.

BACA JUGA: Seluruh pasien COVID-19 dari 3 kelompok terbesar sembuh dengan luar biasa

“Saya harus segera mengambil tindakan dengan melihat peluang bisnis baru yang lebih menjanjikan. Batik akan terus seperti ini,” ujarnya menanggapi lesunya bisnis batik di Palu.

Sebelum gempa, kota Palu biasanya mengumpulkan antara 15 dan 20 juta. Pendapatan Rp per hari.

BACA JUGA: FPI C Ancam Aksi Masif

Bahkan, jika ada kegiatan nasional di Palu bisa meraup keuntungan hingga 30 juta. Rp per hari.

Namun setelah gempa, ia menutup usahanya selama hampir setahun. Selain tempat usaha rusak, sebagian pasar juga ikut hancur.

Ia dan istrinya Siti Huzaemah baru saja menata ulang usahanya dalam beberapa bulan terakhir.

Bisnis mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan, namun COVID-19 datang dan menyebar. Pasar sedang lesu, tidak ada order sama sekali.

“Baguslah kalau hari itu juga ada yang membeli,” ucapnya.

Kondisi terparah juga dialami Imam Basuki di sektor usaha yang sama.

Seorang pengusaha batik dan kain Donggala yang tinggal di kawasan UMKM Batik dan Tenun di Jalan Mangga, Palu Barat, merasa sangat terpukul setelah kawasan itu menjadi zona merah COVID-19 setelah ada satu orang yang terdiagnosis COVID.

Kondisi ini tidak hanya berdampak pada pengusaha Batik dan tenun di kawasan UMKM Donggala, namun juga para perajin tenun di sentra tenun Palu dan Donggala.

Imam dan pengusaha lainnya terpaksa menghentikan sementara pasokan tenun dari sentra tenun karena permintaan pasar sedang lesu. Mereka tak berdaya menerobos pasar ketika jalur udara menuju Palu terputus.

Sementara itu, potensi pasar batik dan tenun Donggala ada di tangan para tamu yang datang ke Palu karena mereka memproduksi kain batik khas Palu dan Donggala sebagai oleh-oleh khas daerah.

“Kemarin saya datang jemput barang dari beberapa tempat dagang yang saya kirim tiga bulan lalu, hasilnya hanya Rp 2 juta. Saya mau antar lagi, mereka menolak. Saya tidak berani menerima barang dalam kondisi seperti itu. , ” dia berkata. Imam.

Ia mengakui bahwa meskipun kondisi normal baru untuk COVID-19 telah tiba, pasar mungkin belum kembali normal. Kalaupun ada penjualan, keuntungannya hanya bisa digunakan untuk pengeluaran sehari-hari.

Pasar sudah lesu dan pendapatan hancur, rekening bank masih berjalan.

Menurut Imam, beberapa temannya dari Paguyuban Tenun Donggala mengeluh karena pihak bank terus datang menjemput mereka seolah-olah mereka tidak paham kalau usahanya sedang terpuruk.

Mereka mencoba mengajukan bantuan, namun beberapa bank mengaku sudah menerima bantuan untuk gempa 28 September 2018.

“Kami tidak perlu tambahan modal karena kami tidak bisa memproduksi banyak karena permasalahannya sekarang adalah pasar yang sedang lesu. Kami hanya perlu keringanan utang saja,” ujarnya.

Syamsul Syaifudin, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Palu, mengakui hampir seluruh pelaku usaha di ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah itu terdampak COVID-19.

Meski begitu, kata Syamsul, masih ada beberapa perusahaan yang tetap eksis bahkan mungkin memperluas pasar ke luar daerah di tengah pandemi corona, salah satunya tepung terigu Kribo khas Palu.

Produk olahan usaha kecil, mikro, dan menengah (UKM) di Palu sebenarnya ditujukan untuk pasar hingga ke Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi Selatan.

Kartika, pemilik perusahaan tepung terigu Kribo, mengatakan saat ini pasar Makassar saat ini memenuhi 3,5 ton setiap minggunya.

Di masa puncak COVID-19, Kartika hanya mengandalkan penjualan online hingga akhirnya tak menyangka permintaan akan mencapai Pulau Sumatera dan Kalimantan.

“Saat ini saya terkendala biaya pengiriman. Biaya pengiriman terlalu mahal sehingga kami tidak bisa memenuhi permintaan dari Sumatera,” ujarnya.

Bisnis mandiri yang diciptakan Kartika masih sangat muda. Usaha ini baru dirintisnya pada bulan Maret 2018, namun sempat terhenti akibat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi 28 September 2018 yang terjadi di kota Palu.

Setelah mengalami keterkejutan, dia tidak kehilangan semangat. Ia terus berusaha pulih berkat dukungan suaminya yang berprofesi sebagai pengusaha ayam broiler di Palu.

Kartika yang sebelumnya ditunjuk oleh pemerintah kota setempat sebagai tim pendampingan UMKM di Palu, akhirnya memilih menjadi wiraswasta setelah pendampingan berakhir.

Ia fokus membangun perusahaannya yang saat ini memiliki 16 karyawan.

Kartika mengembangkan tepung terigu kemasan dalam beberapa varian untuk menjaga adonan goreng tetap segar dan kering (renyah).

Untuk varian Premium, kata Kartika, daya tahan segar dan kering bertahan selama 20-24 jam.

“Kalau malam ini dipakai untuk memanggang, besok malam masih segar dan kering. Itu keunggulan produk kami,” ujarnya.

Umur simpan segar dan kering biasanya adalah lima hingga enam jam.

Selain memiliki kapasitas pengeringan yang lama, tepung kemasan Kribo juga hadir dalam banyak pilihan rasa seperti cheesy, manis dan pedas.

“Biasanya ikan sarden suka yang pedas, jadi kalau digoreng pisang rasanya pedas,” ujarnya.

Kartika berharap tepung Kribonya bisa menembus pasar di seluruh Indonesia, seperti produk tepung lainnya yang sudah lama mendominasi pasar. (antara / jpnn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *