Pasar Terapung Kalsel, Riwayat Dahulu dan Kini

saranginews.com – Sungai yang mengalir di Kalima Selatan (Kalsel) menjadi sumber kehidupan perekonomian sebuah provinsi bernama Bumi Lambung Mangkurat. Pasar terapung merupakan sisa bukti keindahan budaya sungai pada masa awal Kesultanan Banjar.

Laporan: Donny Muslim, Banjarmasin

BACA JUGA: Pekerja Lanal Banjarmasi menasihati pedagang dan nelayan di pasar terapung

Pasar terapung sudah menjadi ciri khas Kalimantan Selatan. Provinsi yang beribukota Banjabaru ini memiliki dua pasar terapung yang terkenal, Muara Kuin dan Lok Baintan.

Pasar Terapung Muara Kuin terletak di Sungai Barito di Banjarmasin, sedangkan Lok Baitan terletak di Sungai Martapura di Kabupaten Banjar.

BACA JUGA: Pameran Dagang Istimewa, Kalimantan Selatan Terbesar yang Tarik Sejuta Wisatawan

Sejarah memberi tahu kita bahwa kedua pasar terapung ini telah ada selama berabad-abad.

Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur menjelaskan, pasar terapung pertama kali ditemukan di Muara Kuin pada tahun 1530.

COBA: Festival Pasar Terapung Kalimantan Selatan Menghipnotis Wisatawan Thailand

“Dahulu kala pada masa pemerintahan Kesultanan Banjar yang pertama,” kata Mansyur kepada saranginews.com.

Para ahli sejarah mengungkapkan, dahulu pasar terapung Muara Kuin bukan berada di Sungai Barito, melainkan di antara pertemuan Sungai Sigaling dan Sungai Keramat.

Situs ini diyakini dekat dengan istana Kesultanan Banjar pada masa itu.

Namun seiring berjalannya waktu, semakin banyak pedagang yang berpindah ke sungai-sungai besar. Sungai Barito menjadi pilihan mereka.

Saat itu, para pedagang berdatangan dari beberapa desa, membawa hasil pertanian dari daerahnya masing-masing. Ada sayuran, ikan, buah-buahan dan barang berharga lainnya.

Para pedagang bertemu dan bekerja di pasar terapung.

Setelah itu, mereka menyusuri sungai-sungai kecil di atas jukung atau jongkong untuk menjual hasil produksinya ke rumah-rumah penduduk di tepian sungai.

Terkait buku karya penulis Idwar Saleh “Bandjarmasin”, Mansyur mengatakan, pada awal berdirinya pasar terapung, tidak ada pengiriman uang.

“Di sini pakai sistem barter atau kata bapanduk,” ujarnya.

Barter adalah perdagangan barang. Misalnya, satu kilogram beras ditukar dengan sejumlah ikan hasil tangkapan di sungai.

Sistem barter juga digunakan oleh para pedagang Pasar Terapung Lok Baintan.

Pasar terapung di ibu kota Kabupaten Banjar ini usianya lebih tua dibandingkan Muara Kuin.

Pasar terapung Lok Baintan yang ada saat ini adalah ketika keraton Kesultanan Banjar berpindah dari Kuin dari Banjarmasin ke daerah Kayutang ke Martapura pada tahun 1612 Masehi.

Namun kemunculan pasar Lok Baintan tidak menyurutkan vitalitas Muara Kuin yang terus berkembang dan bertahan hingga saat ini.

Pada tahun 1980-an, lahirlah ide untuk mengubah pasar terapung menjadi destinasi wisata.

Ide tersebut lahir saat Effendi Ritonga menjabat Perdana Menteri Banjarmasin. Ide ini berlanjut hingga hari ini.

Pada tahun 2014, Pemerintah Kota Banjarmasin membuka pasar terapung di Siring, Jalan Piere Tendean.

Sebagai salah satu destinasi wisata, Pasar Terapung Siring sering dijadikan sebagai tempat diselenggarakannya berbagai acara wisata.

Pemerintah Kota Banjarmasin menyelenggarakan kegiatan mingguan di pasar terapung di Sungai Martapura.

Pedagang di Pasar Terapung Siring Tendean sebagian besar berasal dari Lok Baintan dan sekitarnya.

Namun keberadaan pasar terapung di jantung kota Banjarmasin tidak jauh lebih baik dibandingkan dengan keberadaan Muara Kuin.

Seorang pedagang buah di Pasar Terapung Muara Kuin di Pahrul mengatakan, kiosnya sangat populer sejak pertengahan tahun 1990an hingga awal tahun 2000an.

Pasalnya ada televisi swasta yang menayangkan nama “pasar terapung”.

RCTI saat itu memanfaatkan Pasar Terapung Kuin sebagai ajang promosi acara tersebut. Bintang tayangan RCTI OK adalah pedagang Pasar Terapung Kuin bernama Noor Parida.

Pahrul juga menikmati reputasi pasar terapung pada pergantian milenium.

“Kami sendiri berjualan buah-buahan dan sehari bisa (menghasilkan) hingga Rp 300 ribu, terutama di hari Sabtu dan Minggu,” kata Pahrul.

Namun tren tersebut mulai berubah seiring datangnya pandemi Covid-19.

Warga Kecamatan Pangeran Banjarmasin ini mengatakan, jumlah pengunjung pasar terapung mengalami penurunan signifikan akibat adanya pembatasan kegiatan, termasuk larangan bepergian.

Pahrul harus menjual tanah untuk menghidupi keluarganya. Dengan mobil itu, dia membeli buah-buahan yang tak ada habisnya.

Dampak pandemi Covid-19 mulai terasa di pasar terapung Muara Kuini saat ini. “Lebih tenang,” kata Pahrul.

Menjelang berakhirnya musim liburan, aktivitas wisata di pasar terapung Muara Kuini dijadwal ulang. Jadi kami bersemangat untuk mulai berjualan, katanya.

Pahrul juga yakin pemerintah bisa terus memantau situasi pasar terapung yang sebenarnya seperti Muara Kuin dan Lok Baintan.

Masalahnya kami tidak mendapat bantuan. Kalau pemerintah datang untuk wisata, itu bukan bantuan, hanya jumlah produk kami yang terjual, katanya. (mcr37/jpnn)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *