Bakti Basuh Kaki, Tradisi yang Sudah Jarang Dilakukan Menjelang Imlek

saranginews.com – Banyak orang mengenal Imlek sebagai tradisi pemberian angpau sebagai oleh-oleh. Namun, ada tradisi penting menjelang Tahun Baru Imlek.

Dilaporkan oleh Wisnu Indra Kusuma, Semarang

BACA JUGA: Kasus Covid-19 Meningkat, Tina Toon Rayakan Imlek dengan Cara Ini

Jam dinding di Rumah Masyarakat Boen Hian Tong (Rasa Dharma), Jalan Gang Pinggir, Kota Semarang, Jawa Tengah, menunjukkan pukul 10.00.

Minggu (30/1) itu, puluhan orang berkumpul di rumah kawasan Pecinan itu.

BACA JUGA: Gambar Perayaan Imlek Masyarakat Bangka

Sepuluh lelaki tua duduk satu demi satu di kursi merah. Di depan mereka ada 13 orang yang berlutut di tanah.

Mereka bertemu mata. Tak lama kemudian, tradisi cuci kaki pun dimulai.

BACA JUGA: Dion Wiyoko berbaju merah merayakan Tahun Baru Imlek pertama bersama putrinya

Puluhan orang berlutut di tanah dengan seember kecil air di depannya.

Serbet putih kecil dibentangkan di pangkuan masing-masing orang tua.

Ketua Persatuan Sosial Rasa Dharma Harjanto Kusuma Halim mengatakan banyak masyarakat yang akrab dengan perayaan Tahun Baru Imlek dengan pesta dan pembagian angpao.

Namun ada nilai lain yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Tionghoa, yakni mencuci kaki.

“Sebenarnya Imlek artinya menghidupkan kembali rasa cinta kekeluargaan terhadap keluarga. Ini salah satu wujud cinta kekeluargaan dalam ajaran Konghucu,” kata Harjanto di saranginews.com.

Menurutnya, tradisi berbakti atau xiao dalam ajaran Konghucu jarang dilakukan. Meski demikian, Harjanto tetap ingin anak mengetahui peran dan kiprah orang tua saat ini.

Saat Harjanto menjelaskan arti membasuh kaki Xiao, Harjanto memainkan himne yang mencerminkan kenangannya bersama ibunya.

“Lagu ini selalu saya putar di setiap acara. Bahkan, ini juga lagu yang diambil dari ibu saya saat dia dirawat di rumah sakit di akhir hayatnya,” ujarnya.

Puisi Fu Qing Papa bercerita tentang pengabdian kepada orang tua dan salah satu puisi Harjanto berjudul Membasuh Kaki Orang Tua juga dibacakan dalam acara tersebut. Meski pengamalan tradisi ini terkesan sederhana, namun suasananya sangat seru.

Air mata terlihat di wajah peserta proses cuci kaki. Bahkan orang asing dari agama lain yang menyaksikan peristiwa itu pun tak bisa merasakan haru apa pun.

Emosi memuncak saat orang tua melepas sepatunya. Sebuah kaki yang kulitnya keriput karena usia dibenamkan ke dalam ember.

Tak lama kemudian, kaki orang tua tersebut diambil lalu ditaruh di paha anaknya. Lalu keringkan kaki Anda yang basah dengan handuk kecil.

Air mata mengalir saat orang tua dan anak saling memaafkan. Para orang tua duduk di kursi dan mendekati anak-anak mereka yang sedang berlutut di tanah.

Langkah selanjutnya dalam ritual cuci kaki adalah mempersembahkan teh kepada orang tua. Teh dituangkan ke dalam gelas kecil berwarna merah.

Cara penyajiannya harus dilakukan dengan kedua tangan, seperti saat berdoa. Menawarkan teh merupakan tanda penghormatan anak terhadap orang tuanya.

“Namun kita tidak boleh melupakan peran dan kiprah orang tua sebagai bagian dari diri kita,” kata Harjanto.

Para pemimpin Tionghoa di Pecinan Semarang menekankan bahwa tradisi cuci kaki bertujuan untuk mengembalikan akar perayaan Tahun Baru Imlek yang berpusat pada keluarga.

“Berbahagialah anak-anak yang masih bisa membasuh kaki ibu dan bapaknya,” jelasnya.

Sebelum proses cuci kaki berakhir, orang tua dan anak saling berpelukan erat. Ada kata-kata permintaan maaf di sela-sela pelukan.

Suara orang tuanya lemah karena tercekik oleh air mata. “Maafkan aku, nenek, anakku,” kata seorang wanita tua kepada cucunya.

Namun, tradisi ini tidak terbatas pada penganut Konghucu Tiongkok saja. Ada pula warga berlatar belakang Islam dan Kristen yang mengikuti tradisi ini.

Harjanto mengaku mengajak pemeluk agama lain dalam upaya menjaga silaturahmi dan saling menghormati. Ia mengatakan, agama bukanlah halangan.

Upacara cuci kaki diakhiri dengan para peserta dan tamu yang menyaksikan Rasa Dharma menerima jeruk mandarin yang melambangkan buah keberuntungan.

“Jadi kalau ada yang mau ikut ritual seperti ini ya, kumpul-kumpul saja dari sukunya, dari agamanya, dari kelompoknya, bisa jadi silaturahmi,” ujarnya.

Angelina Cintya, salah satu peserta cuci kaki mengaku mengikuti tradisi menjelang Tahun Baru Imlek yang menjadi warisan nenek moyangnya.

“Sedih sekali, baru kali ini saya merasa seperti tertusuk pisau,” ujarnya sambil terisak.

Angelina tidak mencuci kaki orang tuanya. Meski orang tuanya masih hidup, ia memilih untuk membasuh kaki neneknya.

Karena itulah Angelina harus mengantar neneknya dari Kudus ke Semarang. Ia pun punya tujuan lain mencuci kaki neneknya menjelang Tahun Baru Imlek.

Angelina ingin neneknya mengantarnya ke pelaminan.

“Tidak perlu orang tua saya bisa menemani saya jalan-jalan, karena kalau nenek saya juga bisa menemani saya, saya harus menghormati nenek saya,” kata perempuan berusia 18 tahun (mcr5/jpnn). mengikuti video terbaru?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *