saranginews.com – Tokoh Bali Ida Tjokorda Pemecutan XI meninggal dunia pada Rabu (22/12). Meninggalnya raja Puri Pemecutan menimbulkan duka yang luar biasa, termasuk bagi warga Kampung Muslim di Desa Kepaon, Denpasar.
Laporan AS Prayogi & Oleh Ketut Efrata, Bali
BACA JUGA: Bali Sedih, Raja Puri Pemecutar Tinggalkan, Syukur: Tragedi Sedih
COK Pemecutan -julukan populer Ida Tjokorda Pemecutan XI- dikenal sebagai sosok yang getol menjaga kerukunan antar umat beragama di Bali. Penerus takhta Puri Pemecutan ini berperan besar dalam menjaga kerukunan umat Hindu dan minoritas Muslim di kampung Muslim.
Kiprah Cok Pemecutan dalam mendorong kerukunan umat beragama didokumentasikan dalam buku ‘Wajah Agama di Media’ terbitan Lembaga Pers dan Pembangunan (LSPP) pada tahun 2010.
BACA JUGA: Warga NTT Menangis Ikut Pembebasan Jenazah Frans Lebu Raya di Bali
Dalam buku itu, Cok Pemecutan bernama asli Anak Agung Ngurah Manik Parasara menceritakan sejarah rekonsiliasi umat Hindu dan Islam di desa Kepaon.
Menurutnya, hubungan Puri Pemecutan dengan warga Muslim di Kepaon sudah terjalin ratusan tahun.
BACA JUGA: Keajaiban Wonoagung Saat Letusan Semeru
“Kami tidak akan pernah berpisah, karena kami satu darah,” kata Cok Pemecutan dikutip dari artikel bertajuk “Tradisi Ngejot dan Megibung Simbol Kerukunan Umat Beragama di Bali” dalam buku tersebut.
Sejarah kerukunan umat Hindu dan Islam di Desa Adat Kepaon tidak lepas dari sejarah beberapa abad. Hubungan harmonis ini bermula ketika Gusti Ayu Made Rai, putra raja Puri Pemecutan, terserang penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Raja Pemecutan pun mengadakan sayembara untuk mencari obat yang bisa menyembuhkan putranya. Barang siapa yang dapat menyembuhkan Gusti Ayu Made Rai akan mendapat hadiah dari Raja Pemecutan.
Jika tabibnya perempuan, Prabu Pemecutan akan menjadikan saudara laki-laki anaknya sebagai tabib.
Jika ia menyembuhkan seorang laki-laki, Raja Pemecutan akan menjodohkannya dengan Gusti Ayu Made Rai.
Sayangnya, hanya Pangeran Cakraningrat IV yang ada di sana sebagai satu-satunya orang yang mampu menyembuhkan sang putri. Raja Madura adalah seorang Muslim.
Prabu Pemecutar menepati janjinya. Putrinya menikah dengan Cakraningrat IV.
Pernikahan inilah yang menjadi alasan Gusti Ayu Made Rai masuk Islam. Nama Muslimnya adalah Raden Ayu Siti Khotijah.
Keduanya melanjutkan hidup di Madura. Singkat cerita, Siti Khotijah segera kembali ke Bali ditemani 40 prajurit untuk menghadiri upacara keagamaan di Puri Pemecutan.
Namun, terjadi kesalahpahaman di kastil yang menyebabkan kematian sang putri. RA Siti Khotijah dimakamkan di Bali.
Namun prajurit pengawal RA Khotijah tidak kembali ke Madura. Raja Pemecutan kemudian menganugerahkan kepada mereka sebidang tanah di Kepaon yang kini menjadi bagian Kabupaten Denpasar Selatan.
Tentara menikah dengan penduduk setempat. Keturunan prajurit tersebut membangun sebuah desa yang warganya menganut agama Islam di tengah masyarakat Hindu.
Hubungan darah inilah yang menjaga keutuhan Puri Pemecutan dan masyarakat Kampung Islam tidak luntur. “Mungkin sejarah bisa dilupakan, tapi darah tidak bisa,” kata Cok Pemecutan.
Bangsawan Bali ini tak hanya mengakui, tapi juga membuktikannya. Warga Kampung Islam yang beragama Islam selalu dilibatkan dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh keluarga Puri Pemecutan.
“Mereka (masyarakat Kampung Islam, Red.) selalu datang ke benteng untuk acara-acara,” kata Cok Pemecutan.
Salah satu pewaris Kerajaan Badung aktif mengunjungi warga Kampung Muslim. Saat salah satu warga Kampung Muslim meninggal, Cok Pemecutan pun ikut berduka.
Selama bulan Ramadhan, Cok Pemecutan juga menyediakan makanan berbuka puasa bagi warga desa yang beragama Islam. “Biasanya di sini saya adakan acara untuk berbuka sekaligus, lalu sholat dulu, baru sarapan pagi bersama keluarga di sini,” kata Cok Pemecutan.
Oleh karena itu, masyarakat Kampung Islam berduka atas meninggalnya Cok Pemecutan. Salah satu tokoh warga Kampung Islam, Subawai, merasa sangat kehilangan atas kepergian sosok yang dikenal sebagai pelindung umat Islam.
“Duka yang terjadi di Puri Pemecutan ini menjadi duka kami,” kata Subawai kepada saranginews.com.
Mantan Kepala Desa Desa Muslim ini mengatakan, Kepala Desa Puri Pemecutan telah turun temurun melindungi umat Islam dan menjaga kerukunan antara umat Hindu dan Islam.
“Kehadiran beliau dalam kepemimpinan Puri Pemecutan mengikuti jejak para pendahulunya yang selalu aktif dalam kegiatan masyarakat khususnya di Kampung Islam Kepaon dan Serangan,” kata Subawai Megman Cok Pemecutan XI yang beragama Hindu. Namun, ia juga dikenal sangat memahami kehidupan Nabi Muhammad SAW.
“Bukan karena dia mempelajari agama Islam, tapi sebagai bukti bahwa dia ingin bersatu dengan seluruh umatnya dengan memahami keyakinan umatnya,” jelas Subawai.
Oleh karena itu, meski masyarakatnya tidak lagi hidup seperti kerajaan-kerajaan dulu, masyarakat Kampung Islam masih menganggap Cok Pemecutan sebagai raja.
Subawai menilai, hal itu tidak terlepas dari kemampuan Cok Pemecutan yang luar biasa dalam merangkul seluruh kalangan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung untuk menjaga persatuan antar umat beragama.
“Sikap toleransi yang beliau bina di Denpasar merupakan wujud kerukunan kelas dunia. Kami sangat merindukan beliau,” kata Subawai yang turut berduka cita atas meninggalnya Cok Pemecutan serta warga Muslim Desa Bugis di Serangan. Pulau. , Denpasar Selatan.
Tokoh kampung Bugis, Muhammad Syukur, menganggap Cok Pemecutan tetaplah raja.
“Beliau adalah raja kami, orang tua kami, yang selalu membantu dan mendukung kami masyarakat Barangay ng Bugis Serangan,” kata Syukur.
Menurutnya, Cok Pemecutar selalu meluangkan waktunya setiap kali Desa Serangan Bugis membutuhkan bantuan materi maupun non materi.
Syukur yang kini menjadi wali generasi kelima ahli waris Al-Qur’an Kuno di Desa Bugis Serangan mengatakan, Cok Pemecutan merupakan salah satu tokoh besar yang menjaga toleransi di Pulau Dewa.
“Terima kasih banyak atas segalanya baginda kami (Cok Pemecutan, Red). Semoga perjuangan beliau untuk Bali dibalas dengan kebaikan dan kedamaian oleh Tuhan,” kata Syukur. (jpnn) Sudah lihat video terbaru dibawah ini?